“Wanita haid itu nggak boleh potong kuku!”
“Perempuan yang lagi haid nggak boleh keramas lho!”
“Eh… kamu lagi haid ya? Kalau lagi haid itu nggak boleh tidur
siang lho!”
Pasti saudariku pernah
mendengar mitos-mitos seperti ini ketika sedang haid. Ada yang bilang kalau
sedang haid tidak boleh memotong kuku lah, mencuci rambut lah, memotong rambut
lah, sampai nggak boleh tidur siang. Bener nggak sih mitos-mitos itu?
Islam adalah agama yang syumul (sempurna) yang mengatur tidak hanya masalah peribadatan
tapi sampai hal-hal terkecil dan sepele pun ada aturannya. Begitu juga dengan
masalah haid, semuanya sudah termaktub dalam Al-Qur’an yang diperkuat oleh
As-Sunnah. Dari mulai ciri-ciri darah haid, sampai hal-hal yang tidak
diperbolehkan ketika sedang haid. Jadi Saudariku, tidak perlu lagi
berpusing-pusing ria sama mitos-mitos yang belum jelas kevalidan dan
keshohihannya.
Hal-hal yang tidak boleh
dilakukan oleh wanita haid sendiri ada yang sudah menjadi kesepakatn ulama, dan
ada pula yang masih khilaf. Namun pada pembahasan
kali ini, penulis hanya akan membahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh
wanita haid yang sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama. Adapun larangan yang
sudah menjadi kesepakatan ulama bagi wanita haid adalah sebagai berikut :
1. Dilarang melakukan sholat
dan tidak diwajibkan untuk mengqadhanya
Perempuan yang sedang
haid, lepas kewajibannya untuk mengerjakan sholat, baik itu sholat fardhu
maupun sholat sunnah. Dan tidak diwajibkan juga untuk mengqadha sholat, kecuali
jika telah masuk waktu sholat tetapi belum melaksanakan sholat kemudian keluar
darah haid. Maka wajib baginya untuk mengqadha sholat tersebut. Misalkan Tina
belum sempat mengerjakan sholat Dhuhur, padahal waktu sudah mendekati Ashar,
kemudian dia mendapatkan haid. Maka wajib bagi Tina untuk mengqadha sholat
Dhuhur tersebut ketika ia telah suci.
Dan apabila wanita haid
telah suci mendekati waktu Ashar, kemudian ketika ia mandi waktu Ashar tiba.
Maka wajib hukumnya bagi wanita itu untuk mengerjakan sholat Dhuhur dan Ashar
pada hari itu. Sama halnya ketika ia suci sebelum terbit fajar, ia berkewajiban
untuk mengerjakan sholat Maghrib dan Isya pada malam harinya. Karena, waktu
sholat yang kedua adalah waktu sholat yang pertama pada saat-saat uzur.
Jumhur ulama berpendapat
–di antaranya Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad- jika seorang
wanita suci dari haid pada akhir siang, maka dia sholat Dhuhur dan Ashar. Dan
apabila suci pada akhir malam, maka dia sholat Maghrib dan Isya. Seperti yang
dinukil dari Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas, karena
waktunya sama di antara dua sholat saat uzur. Maka apabila ia suci di akhir
siang, lalu waktu Dhuhur masih ada, maka ia mengerjakan sholat Dhuhur sebelum
Ashar. Jika ia suci pada akhir malam, lalu sholat Maghrib masih pada saat uzur,
maka ia mengerjakan sholat Maghrib sebelum Isya. (Lihat Majmu’ Al-Fatawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah)
2. Dilarang melakukan shaum dan diwajibkan untuk
mengqadha shaum
Perempuan yang sedang
haid juga diharamkan untuk shaum, baik itu yang wajib
maupun yang sunnah. Dan diwajibkan untuk mengqadha shaum yang wajib (shaumRamadhan) yang
ditinggalkannya karena haid. Rasulullah shalallahu ’alaihi wa
sallambersabda :
أَلَيْسَتْ
إِحْدَاكُنَّ إِذَا حَاضَتْ لاَ تَصُوم وَلاَ تُصَلِّي
“Bukankah salah
seorang di antara kamu (wanita) apabila memasuki masa haid tidak sholat dan
tidak pula puasa?” (HR. Bukhari)
قَالَتْ عَائِشَة رَضِيَ الله
عَنْهَا: «كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ
الصَّلاَةِ» متفق عليه
‘Aisyah radhiyallahu
’anha berkata : “Kami diperintahkan untuk mengqadha shaum dan tidak
diperintahkan untuk mengqadha sholat.” (HR. Muslim)
Apabila seorang wanita
haid ketika sedang berpuasa, maka batallah puasanya. Sekalipun hal itu terjadi
menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha puasa hari itu apabila itu puasa
wajib. Namun, jika hanya merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum
maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, menurut pendapat yang rajih puasanya sah dan tidak
batal. Karena darah yang masih berada di dalam rahim belum ada hukumnya.
Begitu juga apabila suci
menjelang fajar dan telah berniat untuk berpuasa, maka puasanya sah. Syarat
sahnya puasa itu tidak tergantung pada mandinya, tidak seperti sholat. Seperti
halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan
junub dan belum sempat mandi, kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya.
Hal ini berdasarkan haidts ’Aisyah radhiyallahu ’anha yang mengatakan :
”Pernah suatu pagi pada
bulan Ramadhan, Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam dalam keadaan junub
karena jima‘, bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa Ramadhan.“ (HR. Muttafaq ’alihi)
3. Dilarang melakukan thawaf
Wanita yang sedang haid
juga dilarang untuk melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidak sah thawafnya. Hal ini didasarkan sabda Rasulullahshalallahu ’alaihi wa
sallam kepada ’Aisyah ketika ia sedang haid :
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجَّ غَيْرَ ألَّا
تَطُوفِي بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
“Lakukanlah segala yang
dilakukan oleh orang yang berhaji. Hanya saja, engkau tidak boleh thawaf di
Ka’bah hingga engkau suci.” (HR.Bukhari)
Adapun kewajiban lainnya,
seperti sa’i antara Shafa dan Marwa, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah
dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta umrah. Dan selain itu tidak
diharamkan.
4. Dilarang melakukan
hubungan seksual
Seorang istri yang sedang
haid dilarang melakukan hubungan seksual dengan suaminya. Dan si istri yang
sedang haid dilarang untuk menutup-nutupi keadaan dirinya yang sedang haid,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Baqarah
ayat 222 :
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ
أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّساءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ فَإِذا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu
tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran", oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.”
Rasulullah shalallahu ’alaihi wa
sallam juga menyebutkan larangan menggauli istri yang sedang haid dalam
haidts beliau :
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْئٍ إِلَّا النِّكاحَ
“Lakukanlah apa saja
kecuali berhubungan seksual.”
Maksud dari kata nikah di
sini bukanlah akad nikah, tetapi hubungan suami-istri atau jima’. Jumhur ulama
juga sepakat atas diharamkannya menggauli istri yang sedang haid. Syaikhul
Islam ibnu Taimiyah berkata : “Menyetubuhi wanita nifas sama hukumnya dengan
menyetubuhi wanita haid, yaitu haram menurut kesepakatan ulama.”
5. Dilarang dijatuhi talak
(cerai)
Seorang suami dilarang
menjatuhi menceraikan istrinya yang sedang haid, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Ath-Thalaq
ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذا طَلَّقْتُمُ
النِّساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Hai nabi, apabila kamu
menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)….”
Maksud adalah seorang
istri ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah. Hal ini hanya dapat
dilakukakn jika istri dalam keadaan suci dan belum digauli lagi. Masalahnya,
seorang wanita jika dicerai dalam keadaan haid, ia tidak siap menghadapi
iddahnya, karena haid yang dialaminya pada saat jatuhnya talak itu tidaklah
terhitung iddah. Jadi menjatuhi talak kepada istri yang sedang haid, haram
hukumnya.
Nah, itu dia hal-hal yang
tidak boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang haid berdasarkan nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama. Nggak ada
kan larangan-larangan untuk memotong kuku, mencuci rambut, memotong rambut,
apalagi tidur siang! Insya Allah pada pembahasan selanjutnya akan penulis bahas
hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang terdapat perbedaan di
antara jumhur ulama (khilafiy).
Wallahu a’lam bishowab
Sumber : Syaikh Muhammad
Bin Shaleh Al 'Utsaimin
- Risalah Fid Dimaa'
Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa', Syaikh Muhammad bin
Sholih Al-‘Utsamin
- Majmu‘ Al-Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
- Su’al wa Jawab fii Ahkami
Al-Haid, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsamin
- Darah Kebiasaan Wanita, Ustadzah Ainul Millah, Lc
0 komentar:
Posting Komentar
lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika kalian berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada di sekitar.
Seringkali lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga sebagai lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang